Jumat, 02 April 2010

ROSES PENILAIAN DALAM KARYA FOTOGRAFI

Dari mata turun ke hati. Pernyataan tersebut sering digunakan dalam situasi percintaan. Akan tetapi pernyataan itu bisa saja sejalan dengan ‘dunia lain’ seperti fotografi, apabila ‘ditarik’ salah satu makna dari kalimat tersebut yakni sebuah proses. Proses yang ingin saya bahas kali ini adalah foto yang memiliki jiwa (soul).

Mata sebagai pintu dari penilaian bukanlah sebuah akhir dari penilaian fotografi. Meski mata adalah hal penting didalam ‘pengalihan’ atau ‘ketertarikan awal’ dari proses menikmati sebuah karya fotografi. Kalau kita dengan rendah hati melihat kedalam diri kita sendiri sebagai fotografer di Indonesia maka fenomena di Indonesia sekarang ini bahwa kepuasan mata seperti ‘raja’ yang ‘mengalahkan’ segalanya, termasuk fotografi yang memandang akan makna. Idealnya. Fotogarfi seharusnya dapat diterima dengan baik oleh mata tapi juga harus menyampaikan makna kepada penikmat. Dua kunci itulah yang seharusnya dipegang oleh setiap fotografer atau calon fotografer. Dan untuk menjadi fotografer yang memotret dengan makna memerlukan proses penempaan dalam belajar. Fotografer yang dikatakan ‘matang’ adalah fotografer yang tidak hanya dapat secara teknis merekam momen dengan cahaya akan tetapi dapat menyampaikan makna yang dikandung didalam hasil karyanya.

Maju fotografi Indonesia.


DUNIA FOTOGRAFI MIRIP SEPERTI HUTAN BELANTARA


Beberapa waktu lalu saya sempat mengangkat status ini (dunia fotografi mirip seperti hutan belantara) di salahsatu status pertemanan yang ada. Lalu seorang teman yang ‘dekat’ dengan dunia fotografi memberikan tanda suka (Like this status). Lalu secara bersamaan dengan diangkatnya status tersebut ada seorang mantan anak murid fotografi saya yang meminta pendapat analisa tentang karyanya. Ketika kami telah membahas karyanya, dia langsung bertanya apa maksud dari dunia fotografi mirip seperti hutan belantara.

Hutan belantara adalah sebuah ‘ruang’ dimana tumbuh begitu banyak pepohonan/tumbuhan dan ‘rumah’ bagi hewan liar. Pohon serta hewan yang ada di tempat tersebut begitu banyak ragamnya dan tumbuh dengan ‘arah’ alami tanpa ditanamkan dengan proses yang bertahap dari penanaman benih atau dasar yang benar, serta pemeliharaan yang sangat baik. Memang ada sisi positif dari ‘ruang’ tersebut, seperti ada beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai obat dan ada hewan yang dapat dikembangbiakkan karena memiliki nilai yang dapat dijadikan penghasilan.

Hutan menggambarkan dunia fotografi. Pepohonan diibaratkan salahsatu ‘penghuni’nya yakni fotografer. Dan Hewan juga diibaratkan ‘penghuni’ lain yang menjadi penghuni ‘pengguna’ atau pelengkap dalam dunia tersebut yakni pengguna jasa, pebisnis fotografi dan kalangan umum.

Fenomena yang ada di Indonesia saat ini, begitu banyak orang yang mampu membeli kamera dslr dari yang kelas kamera dslr terendah sampai kelas dslr yang paling tinggi saat ini. Dan fenomena lain, begitu banyak orang yang mampu mengoperasikannya secara ‘cukup’ alat tersebut. Ironisnya, berbekal kedua fenomena tersebut kalangan tersebut mengaku bahwa mereka adalah fotografer. Kalau mengacu pada definisi English Dictionary maka makna fotografer adalah orang yang berprofesi sebagai fotografer. Artinya profesi adalah orang yang bekerja dengan mendalami akan dunia fotografi baik secara pendidikan formal maupun pendidikan informal. Bagi saya secara pribadi, kedua fenomena itu tidaklah salah. Akan tetapi, kalimat yang mungkin lebih mengenanya adalah kurang lengkap. Jadi, seorang fotografer dikatakan professional photographer, dia (idealnya) minimal mengerti akan pokok-pokok dasar dalam fotografi (dasar pengetahuan cahaya, dasar pengetahuan alat, dasar pengetahuan fotografer/manusia sebagai pemotret atau menyangkut pengetahuan seni dan konsep dasar dari obyek yang akan ditampilkan)

Kini begitu banyaknya fotografer dengan berbagai konsentrasi, ada yang memiliki konsentrasi pada fotografi pra nikah dan pernikahan. Ada yang memiliki konsentrasi pada bidang fashion/busana, konsentrasi bidang produk dan makanan minuman, dan masih banyak konsentrasi lainnya. Satu sisi, saya sangat senang dengan pertumbuhan tersebut. Akan tetapi, satu sisi saya juga memiliki kesedihan, yakni pribadi yang belum cukup ‘mapan’ dalam pengetahuan fotografi memberanikan diri untuk masuk. Bagi saya, poin keberanian harus diberi apresiasi sendiri. Tapi, bagi pribadi-pribadi yang belum mapan ini, idealnya mengintrospeksi agar benar-benar siap didalam dunia fotografi barulah dia dapat memberi ‘title’ dirinya sendiri adalah seorang fotografer profesional.

Tulisan ini tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang atau bahkan beberapa orang. Akan tetapi tulisan ini untuk ‘mengetuk’ setiap pribadi yang terjun di dalam dunia ini, untuk ‘mengambil’ porsi yang semestinya sebagai seorang professional apabila sudah masuk didalam area sebagai fotografer. Karena porsi sebagai seorang fotografer berbeda dengan porsi pribadi sebagai pengguna atau penyuka fotografi.

Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi teman-teman yang ingin terjun dalam dunia fotografi atau juga teman-teman yang telah terjun dalam dunia fotografi.