Rabu, 07 April 2010

AKU DAN KAMERA (SEBUAH PERJALANAN FOTOGRAFIKU)

Sekitar tahun 1998-1999, Yashica 107 adalah ‘senjata’ manual pertama saya, hasil pemberian dari kakak saya. Senjata Single Lens Reflex yang tidak pernah saya akan lupakan. Rusak karena berjamur lalu mengakibatkan beberapa bagian lainnya yang ‘kesat’ atau macet karena karat dan kotor. Itu disebabkan karena saya belum cukup berpengetahuan dalam memakai serta merawat kamera tersebut. Lalu Yashica 108 adalah sebagai pengganti dari alat pertama tersebut yang rusak.

Dengan kamera yang kedua saya mengalami banyak sekali masa-masa indah. Masa dimana saya dapat merasakan eksplorasi kamera SLR lebih dalam. Pada saat itu, saya tidak mengetahui banyak tentang teknik. Slow speed, stop action, Panning dan teknik lainnya. Saya hanya fokus kepada bagaimana menampilkan gambar/foto yang baik. Pembelajaran itu berkisar kepada bagaimana mengatur dan mengoperasikan kamera secara dasar (diafragma, ISO dan kecepatan rana).

Bersamaan dengan masa pembelajaran saya, masa itu adalah masa-masa sulit, dimana Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang sangat hebat. Masa yang mengakibatkan saya (secara pribadi) ‘berubah’. Masa memaksa saya harus ‘memperlambat’ proses pembelajaran fotografi saya karena alasan finansial. Ditambah lagi setelah beberapa waktu kemudian kamera Yashica 108 tersebut rusak kembali. Dan itulah menjadi perjalanan akhir fotografi dengan kamera SLR saya.

‘Puasa’ belajar dan memperdalam fotografi selama kurang lebih 3-4 tahun dari tahun 2001 – 2004 membentuk kerinduan saya secara alami. Akan tetapi, pada masa ‘puasa’, saya tidak tinggal diam begitu saja dengan hanya menunggu. Saya memutuskan untuk masuk kelas fotografi di almamater ISI. Di tempat itu saya merasa semakin tergerak dan haus dalam meningkatkan kemampuan fotografi saya. Kurang lebih 2 tahun saya mendalami fotografi secara teori dan praktek di almamater saya. Karena kamera saya telah rusak, maka untuk praktek saya meminjam ke beberapa teman secara bergantian. Dikala kesunyian dan kesendirian menghampiri saya, sering sekali saya mengingat fase sulit tersebut. Akan tetapi saya bersyukur karena saya melihat bahwa semua karena anugrah kalau saya bisa berada di posisi tersebut dan merasakan masa sulit itu. Sehingga saya dapat belajar memaknai akan arti kesulitan.

Lalu sekitar tahun 2004, kamera digital dan DSLR makin marak. Ditambah lagi harga DSLR yang semakin murah seiring perbaikan bangsa di setiap sisi. Dan sekitar tahun 2004-2005 saya membeli kamera DSLR pertama saya. Dengan cepat saya dapat mengembalikan ‘naluri’ belajar saya. Karena keinginan besar yang tumbuh dalam diri. Lalu saya mencoba untuk memulai bisnis fotografi. Alhasil, saya mendapat beberapa klien yang dapat menutupi pengeluaran dari pembelian kamera tersebut.

Saya bersyukur kini saya dapat membuka usaha kecil-kecilan di bidang jasa desain dan fotografi. Lebih daripada itu, kini saya mengajar fotografi di beberapa kelas (baik kelas kecil yang saya buka sendiri maupun di kampus atau perguruan tinggi). Mengajar bagi saya, bukanlah hanya uang yang saya rasakan. Akan tetapi. Adalah sebuah bentuk ibadah, yakni memberkati dikala engkau telah diberkati. Sebuah perjalanan professional yang kalau diingat, begitu banyak rasa (manis dan pahit bercampur jadi satu).

Pesan bagi siapa saja yang ingin menggeluti suatu profesi. Jangan pernah menyerah. Finansial bukanlah hal utama yang dapat ‘mematikan’ diri kita. Yang ‘mematikan’ diri kita adalah diri kita sendiri. Dari pengalaman saya, meski keterbatasan biaya dan dana, saya dapat hidup dan bahkan dapat bertahan sampai sekarang. Itu semua karena anugrah.

Maju fotografi Indonesia !

Salam

Karie Rio Dwisandy


Senin, 05 April 2010

PESONA ANNA ATKINS (1799-1871)


Aspidium Lobatum adalah sebuah foto sederhana yang menampilkan salah satu jenis daun sebagai obyek. Adalah seorang Anna Atkins yang meneliti struktur daun-daun. Meski foto Aspidium Lobatum terlihat sederhana tapi itu tidaklah ‘menghentikan’ saya untuk mengagumi seorang Anna Atkins.

Anne Atkins adalah seorang fotografer wanita pertama. Alasan kenapa saya mengagumi seorang Anne Atkins selain dia seorang wanita, Anne juga membukakan mata saya bahwa kesederhanaan keaslian fotografi dalam menampilkan sesuatu juga dapat ‘menampilkan’ makna yang dalam atau bahkan sangat dalam.

Sebuah foto adalah representasi sempurna dari obyeknya. Kalimat cerdas itulah yang tercetus dari seorang Anne Atkins yang menambah keinginan saya untuk menganalisa kalimat Anne tersebut dan ‘membagikan’ hasil analisa singkat saya. Saya menangkap bahwa makna kata sempurna tidak hanya sebatas ‘tampilan asli’ akan tetapi ada makna konotatif yang terkandung didalamnya. Apabila dibawa pada zaman Anne Atkins hidup (1799-1871) maka teknologi kamera ini saja sudah sangat baru (modern pada zamannya). Tanpa polesan apapun (seperti teknologi komputerisasi) sebenarnya sebuah hasil foto sudah dapat mewakili obyek yang diambil. Dengan kata lain bahwa keaslian foto seharusnya memiliki muatan makna yang dapat disampaikan oleh seorang fotografer. Pernyataan Anna ini tidak bicara tentang batasan dalam dunia fotografi. Artinya foto dengan olah digital adalah suatu yang diharamkan. Karena imaji selalu berkembang dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Bagi saya, seorang Anna mengingatkan saya kembali untuk membuat foto bukan hanya sebatas ‘hiburan mata’ akan tetapi makna yang terkandung didalamnya juga dapat tersampaikan dengan baik kepada ‘penikmat’.

Semoga tulisan ini berguna bagi dunia fotografi Indonesia. Terus berkarya, Kawan-kawan ! Selamat Berkarya, para fotografer Indonesia !

Hormat saya,

Karie Rio Dwisandy Simon