Senin, 16 Agustus 2010

DONGENG SERIBU IMPIAN RORO JONGGRANG DALAM DUNIA FOTOGRAFI (DI ZAMAN MODERN)

Senin, 16 Agustus 2010 
“ … Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Saya minta dibuatkan 1000 candi. “1000 candi?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Roro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Dengan bantuan Jin Bandung Bondowoso membuat candi. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah (999 candi) ... “

Itulah potongan cerita singkat mengenai permintaan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso. Apa hubungan dengan fenomena yang terjadi sekarang ini dalam dunia fotografi ? Jawabannya , “ Instanisasi !” Fotografi adalah satu ‘dunia’ yang memiliki perjalanan panjang dan ‘dalam’. Perjalanan panjang dan dalam untuk dipelajari, dimengerti, dipahami dan dilakukan. Di zaman sekarang ini, mentalitas sudah sedikit bergeser, dimana semua ingin serba cepat akan tapi dapat menghasilkan karya yang sangat baik. Satu sisi kalau kita memproduksi suatu benda dan jasa yang menyangkut aspek komersil, itu baik adanya seperti pesanan klien yang dibuat haruslah cepat waktunya dan memiliki kualitas sangat baik. Akan tetapi dalam hal ini berbeda, bedanya seorang fotografer adalah ‘pembuat’ karya yang berkualitas. Untuk menghasilkan kualitas yang baik, maka seorang fotografer haruslah ‘ditempa’ atau dididik dengan sangat baik atau istilah bakunya adalah diproses dengan baik. Dua fenomena yang saling bertabrakan inilah yang saya hadapi sebagai seorang pengajar, ketika saya mengajar dibeberapa tempat. Dan celakanya setelah beberapa kejadian itu terjadi, maka sebagian orang ketika masuk dunia fotografi hanya sebagai ‘trend’. Yang artinya hanya pada waktu awal saja mereka menggelutinya, setelah beberapa lama kemuadian ‘hanyut’ ditelan waktu. Padahal tidak sedikit uang yang sudah dikucurkan oleh mereka.    

Saran saya pada pemula atau generasi ‘baru’, pikirkan secara baik dan sangat matang ketka ‘masuk’ dalam dunia ini. Apakah ‘muara’ dari dunia ini untuk kalian secara pribadi ? Apakah akan jadi bisnis dikemudian hari? Atau hanya sekedar hobby ? Dan fenomena lain lagi adalah, ada beberapa teman saya yang membuka usaha ini, yang akhirnya ‘gulung’ tikar karena semakin menjalarnya dunia ini ke segala kalangan masyarakat karena kapabilitas dalam dunia fotografinya kurang dapat berkompetisi.

Dunia fotografi adalah dunia yang sebenarnya ‘menyedot’ anda (baik dalam hal finansial, waktu, pikiran dan tenaga).  Tapi bagi sebagian orang yang mencintai dunia ini, maka semuanya itu dianggap tantangan untuk maju. 

Maju fotografi Indonesia

Salam


Karie Rio Dwisandy



Rabu, 28 April 2010

EKSISTENSI, EKSPERIMEN DAN INOVASI


Telah 3 tahun lamanya, seorang koki asal Spanyol memiliki sebuah restoran. Lalu setelah 3 tahun kemuaian dia menutup sementara restoran yang telah dibangunnya dengan  target penutupan selama 6 bulan.  Lalu seorang pebisnis yang juga secara kebetulan adalah seorang pelanggan restoran tersebut, datang kepadanya dan bertanya, “ Dari sudut pandang saya (bisnis), apakah bukan sebuah kebodohan kalau anda menutup restoran yang telah anda buka selama 3 tahun belakangan ini dengan kondisi, masih begitu banyaknya pelanggan yang datang dan merespon bahwa mereka adalah penyuka restoran ini (selama kurang lebih 6 bulan) ?” Pebisnis tersebut masih terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh koki tersebut. Sambil tersenyum koki tersebut menepuk bahu si pebisnis tersebut.

Lalu setelah 6 bulan kemudian (setelah penutupan restoran tersebut), si koki membuka restorannya kembali. Pada awal pembukaannya, memang masih tidak banyak pelanggan (baik yang dahulu maupun baru) yang datang ke restoran tersebut. Tapi selang beberapa bulan, secara cepat pelanggan baik baru maupun yang lama berdatangan. Lalu si pebisnis ini kembali datang ke restoran tersebut dan bertanya kabar tentang koki tersebut. Akan tetapi koki tersebut kembali tersenyum dan memintanya untuk duduk dan memesan makanan serta minuman terbih dahulu. Lalu si pebisnis ini melihat beberapa jenis masakan ‘baru’  dalam menu restoran tersebut dan mencoba memesannya. Setelah selesai menghabiskan makanan dan minuman yang dipesannya, si pebisnis ini tersenyum dan menghampiri si koki dan berkata,” Saya tidak mengerti pada awalnya, tapi setelah saya mengamati, mengumpulkan data lalu saya analisa, ternyata saya hanya bisa mengatakan anda bukan hanya koki luar biasa. Tapi anda juga adalah pebisnis yang luar biasa!”  Ternyata si pebisnis ini menangkap sebuah pembelajaran yakni si koki mengambil ‘waktu kosong’ bukan berarti dia vakum atau ‘mematikan’  kegiatan utamanya yakni sebagai peramu bahan makanan. Akan tetapi, ‘waktu kosong’ digunakan untuk si koki untuk meramu bahan-bahan makanan sehingga menghasilkan suatu masakan baru yang belum pernah ada sebelumnya.  Lalu si pebisnis bertanya kembali kepada si koki, “ Apakah yang anda dapatkan setelah anda mengambil keputusan itu ?” Lalu dengan pelan dan tenang si koki menjawab,” Pertama, saya mendapatkan pengetahuan baru. Kedua, hasil keuntungan saya membuka beberapa bulan ini, melebihi hasil dari keuntungan saya membuka selama 3 tahun yang terdahulu. Ketiga, para pelanggan merasa tidak bosan dan bahkan ‘lari’ dari restoran ini.” 
Pembelajaran yang dapat ditarik bagi seorang fotografer dan seniman adalah eksistensi (ketetapan), eksperimen (percobaan yang bersifat eksplorasi) dan inovasi  adalah bukti bahwa dia adalah seorang fotografer atau seniman sejati. Kadang dunia bisnis melihat dari sudut pandang yang ‘berbeda’, akan tetapi tidak selamanya, pribadi yang tidak hidup dalam dunia bisnis adalah bukan orang yang tidak eksis.
Maju fotografer Indonesia. Maju Indonesiaku

Rio Dwisandy

Rabu, 07 April 2010

AKU DAN KAMERA (SEBUAH PERJALANAN FOTOGRAFIKU)

Sekitar tahun 1998-1999, Yashica 107 adalah ‘senjata’ manual pertama saya, hasil pemberian dari kakak saya. Senjata Single Lens Reflex yang tidak pernah saya akan lupakan. Rusak karena berjamur lalu mengakibatkan beberapa bagian lainnya yang ‘kesat’ atau macet karena karat dan kotor. Itu disebabkan karena saya belum cukup berpengetahuan dalam memakai serta merawat kamera tersebut. Lalu Yashica 108 adalah sebagai pengganti dari alat pertama tersebut yang rusak.

Dengan kamera yang kedua saya mengalami banyak sekali masa-masa indah. Masa dimana saya dapat merasakan eksplorasi kamera SLR lebih dalam. Pada saat itu, saya tidak mengetahui banyak tentang teknik. Slow speed, stop action, Panning dan teknik lainnya. Saya hanya fokus kepada bagaimana menampilkan gambar/foto yang baik. Pembelajaran itu berkisar kepada bagaimana mengatur dan mengoperasikan kamera secara dasar (diafragma, ISO dan kecepatan rana).

Bersamaan dengan masa pembelajaran saya, masa itu adalah masa-masa sulit, dimana Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang sangat hebat. Masa yang mengakibatkan saya (secara pribadi) ‘berubah’. Masa memaksa saya harus ‘memperlambat’ proses pembelajaran fotografi saya karena alasan finansial. Ditambah lagi setelah beberapa waktu kemudian kamera Yashica 108 tersebut rusak kembali. Dan itulah menjadi perjalanan akhir fotografi dengan kamera SLR saya.

‘Puasa’ belajar dan memperdalam fotografi selama kurang lebih 3-4 tahun dari tahun 2001 – 2004 membentuk kerinduan saya secara alami. Akan tetapi, pada masa ‘puasa’, saya tidak tinggal diam begitu saja dengan hanya menunggu. Saya memutuskan untuk masuk kelas fotografi di almamater ISI. Di tempat itu saya merasa semakin tergerak dan haus dalam meningkatkan kemampuan fotografi saya. Kurang lebih 2 tahun saya mendalami fotografi secara teori dan praktek di almamater saya. Karena kamera saya telah rusak, maka untuk praktek saya meminjam ke beberapa teman secara bergantian. Dikala kesunyian dan kesendirian menghampiri saya, sering sekali saya mengingat fase sulit tersebut. Akan tetapi saya bersyukur karena saya melihat bahwa semua karena anugrah kalau saya bisa berada di posisi tersebut dan merasakan masa sulit itu. Sehingga saya dapat belajar memaknai akan arti kesulitan.

Lalu sekitar tahun 2004, kamera digital dan DSLR makin marak. Ditambah lagi harga DSLR yang semakin murah seiring perbaikan bangsa di setiap sisi. Dan sekitar tahun 2004-2005 saya membeli kamera DSLR pertama saya. Dengan cepat saya dapat mengembalikan ‘naluri’ belajar saya. Karena keinginan besar yang tumbuh dalam diri. Lalu saya mencoba untuk memulai bisnis fotografi. Alhasil, saya mendapat beberapa klien yang dapat menutupi pengeluaran dari pembelian kamera tersebut.

Saya bersyukur kini saya dapat membuka usaha kecil-kecilan di bidang jasa desain dan fotografi. Lebih daripada itu, kini saya mengajar fotografi di beberapa kelas (baik kelas kecil yang saya buka sendiri maupun di kampus atau perguruan tinggi). Mengajar bagi saya, bukanlah hanya uang yang saya rasakan. Akan tetapi. Adalah sebuah bentuk ibadah, yakni memberkati dikala engkau telah diberkati. Sebuah perjalanan professional yang kalau diingat, begitu banyak rasa (manis dan pahit bercampur jadi satu).

Pesan bagi siapa saja yang ingin menggeluti suatu profesi. Jangan pernah menyerah. Finansial bukanlah hal utama yang dapat ‘mematikan’ diri kita. Yang ‘mematikan’ diri kita adalah diri kita sendiri. Dari pengalaman saya, meski keterbatasan biaya dan dana, saya dapat hidup dan bahkan dapat bertahan sampai sekarang. Itu semua karena anugrah.

Maju fotografi Indonesia !

Salam

Karie Rio Dwisandy


Senin, 05 April 2010

PESONA ANNA ATKINS (1799-1871)


Aspidium Lobatum adalah sebuah foto sederhana yang menampilkan salah satu jenis daun sebagai obyek. Adalah seorang Anna Atkins yang meneliti struktur daun-daun. Meski foto Aspidium Lobatum terlihat sederhana tapi itu tidaklah ‘menghentikan’ saya untuk mengagumi seorang Anna Atkins.

Anne Atkins adalah seorang fotografer wanita pertama. Alasan kenapa saya mengagumi seorang Anne Atkins selain dia seorang wanita, Anne juga membukakan mata saya bahwa kesederhanaan keaslian fotografi dalam menampilkan sesuatu juga dapat ‘menampilkan’ makna yang dalam atau bahkan sangat dalam.

Sebuah foto adalah representasi sempurna dari obyeknya. Kalimat cerdas itulah yang tercetus dari seorang Anne Atkins yang menambah keinginan saya untuk menganalisa kalimat Anne tersebut dan ‘membagikan’ hasil analisa singkat saya. Saya menangkap bahwa makna kata sempurna tidak hanya sebatas ‘tampilan asli’ akan tetapi ada makna konotatif yang terkandung didalamnya. Apabila dibawa pada zaman Anne Atkins hidup (1799-1871) maka teknologi kamera ini saja sudah sangat baru (modern pada zamannya). Tanpa polesan apapun (seperti teknologi komputerisasi) sebenarnya sebuah hasil foto sudah dapat mewakili obyek yang diambil. Dengan kata lain bahwa keaslian foto seharusnya memiliki muatan makna yang dapat disampaikan oleh seorang fotografer. Pernyataan Anna ini tidak bicara tentang batasan dalam dunia fotografi. Artinya foto dengan olah digital adalah suatu yang diharamkan. Karena imaji selalu berkembang dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Bagi saya, seorang Anna mengingatkan saya kembali untuk membuat foto bukan hanya sebatas ‘hiburan mata’ akan tetapi makna yang terkandung didalamnya juga dapat tersampaikan dengan baik kepada ‘penikmat’.

Semoga tulisan ini berguna bagi dunia fotografi Indonesia. Terus berkarya, Kawan-kawan ! Selamat Berkarya, para fotografer Indonesia !

Hormat saya,

Karie Rio Dwisandy Simon

Jumat, 02 April 2010

ROSES PENILAIAN DALAM KARYA FOTOGRAFI

Dari mata turun ke hati. Pernyataan tersebut sering digunakan dalam situasi percintaan. Akan tetapi pernyataan itu bisa saja sejalan dengan ‘dunia lain’ seperti fotografi, apabila ‘ditarik’ salah satu makna dari kalimat tersebut yakni sebuah proses. Proses yang ingin saya bahas kali ini adalah foto yang memiliki jiwa (soul).

Mata sebagai pintu dari penilaian bukanlah sebuah akhir dari penilaian fotografi. Meski mata adalah hal penting didalam ‘pengalihan’ atau ‘ketertarikan awal’ dari proses menikmati sebuah karya fotografi. Kalau kita dengan rendah hati melihat kedalam diri kita sendiri sebagai fotografer di Indonesia maka fenomena di Indonesia sekarang ini bahwa kepuasan mata seperti ‘raja’ yang ‘mengalahkan’ segalanya, termasuk fotografi yang memandang akan makna. Idealnya. Fotogarfi seharusnya dapat diterima dengan baik oleh mata tapi juga harus menyampaikan makna kepada penikmat. Dua kunci itulah yang seharusnya dipegang oleh setiap fotografer atau calon fotografer. Dan untuk menjadi fotografer yang memotret dengan makna memerlukan proses penempaan dalam belajar. Fotografer yang dikatakan ‘matang’ adalah fotografer yang tidak hanya dapat secara teknis merekam momen dengan cahaya akan tetapi dapat menyampaikan makna yang dikandung didalam hasil karyanya.

Maju fotografi Indonesia.